Rabu, 13 April 2011

Jangan mempolitisir masalah Papua Barat: Pemerintah PRO

Masalah Papua Barat hanya satu dari sejumlah hal bahwa ujung tombak Melanesia Group (MSG) membahas dan mempertimbangkan dalam pembahasan mereka dan hubungan MSG adalah penting untuk Republik Vanuatu sebagai tempat di mana pemerintah dapat mendiskusikan berbagai umum
Sumber masalah. http://www.dailypost.vu/content/do-not-politicise-west-papua-issue-govt-pro


Oleh karena itu, untuk meminta Vanuatu menarik keluar dari MSG hanya karena masalah Papua Barat sama sekali tidak logis dan tidak berdasarkan akal sehat, Pemerintah Humas (PRO) Richard Kaltongga kata.
Dia mengatakan panggilan tersebut juga menunjukkan kebodohan lengkap dan kurangnya penilaian yang tepat dari peran MSG dan pentingnya MSG sebagai forum diplomatik untuk dialog dan diskusi tentang isu-isu secara meliputi nilai-nilai Melanesia kami.
Oleh karena itu, mempolitisir isu Papua Barat tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya bisa mengarah untuk menciptakan ketidakstabilan di Vanuatu.
Saran di atas datang setelah panggilan para pemimpin nasional untuk mengundurkan diri dan beberapa pertanyaan dilontarkan oleh kelompok Aliansi Vete setelah PM Kilman bergabung dengan empat MSG pemimpin untuk menerima Indonesia sebagai pengamat pada pertemuan MSG 18 di Fiji.
Sementara juru bicara pemerintah, Richard Kaltongga, mengakui bahwa Dewan Menteri Vanuatu telah mengambil keputusan terhadap masuknya Indonesia sebagai observer dalam MSG sebelum pertemuan ia menunjukkan bahwa:
"Keputusan untuk melibatkan Indonesia sebagai pengamat dalam MSG itu tidak diputuskan oleh Perdana Menteri Kilman Livtuvanu ... Republik Vanuatu adalah hanya satu anggota dari kelompok lima dalam Grup ujung tombak Melanesia.
"Setiap keputusan yang diambil dalam aliansi Grup Melanesia ujung tombak adalah dengan konsensus keputusan mayoritas dan selalu begitu.
"Perdana Menteri Kilman Livtuvanu dan pemerintahnya terus mendukung aspirasi rakyat Papua Barat untuk kebebasan, namun jelas untuk semua bahwa pendekatan konfrontatif yang diambil selama 20 tahun terakhir tidak menghasilkan hasil yang diinginkan.
"Pemerintah adalah tampilan berikut:
"Masalah Papua Barat adalah salah satu yang hanya dapat sepenuhnya dan akhirnya diselesaikan oleh masyarakat Papua Barat dan Pemerintah Indonesia.
"Sebuah solusi untuk situasi Papua Barat akan memerlukan dialog antara Papua Merdeka dan Pemerintah Indonesia dan ini hanya bisa difasilitasi dengan memastikan bahwa saluran untuk dialog disimpan terbuka.
"Dialog seperti pertama sudah difasilitasi oleh Menteri Luar Negeri Vanuatu beberapa tahun yang lalu, dan terjadi di Papua New Guinea. Ini termasuk Papua Barat Resmi Perwakilan di Vanuatu - Dr John Ondowame dan Bapak Andy Ayamiseba pertemuan dengan pejabat senior Indonesia. Pertemuan kembali dijadwalkan berlangsung di Jakarta, tetapi ini tidak terwujud.
"Pemerintah Vanuatu secara resmi dan secara resmi mengakui wakil dari Papua Merdeka yang berbasis di Vanuatu dan akan terus mengenali Kantor ini dan hanya akan menerima kantor ini sebagai saluran untuk pendapat resmi dan pemandangan Papua Barat Merdeka."
PRO kata Kantor Perdana Menteri telah diberitahu representasi publik oleh Aliansi Vete dan Vanuatu Dewan Nasional Perempuan (VNCW) mengenai perkembangan saat ini berkaitan dengan masalah Papua Barat.
Para Jurubicara pemerintah mengatakan pemerintah menyadari bahwa baik Aliansi Vete dan VNCW juga memiliki masalah yang lebih serius dan mendesak di rumah dan ingin menunjukkan bahwa mereka menyelesaikan masalah-masalah pertama mereka sebelum melihat lebih jauh dan membuat tuntutan irasional seperti meminta Vanuatu untuk menarik keluar dari MSG.
Akhirnya, Kantor Perdana Menteri menegaskan bahwa Pemerintah Vanuatu akan selalu mendukung Papua Barat Merdeka dan gerakan kebebasan lain dan siap untuk mengambil peran memfasilitasi penting yang perlu bermain karena hubungan yang unik dengan baik Papua Barat Freedom Gerakan dan Pemerintah Indonesia untuk mempromosikan dialog sangat dibutuhkan.

Selasa, 12 April 2011

MRP Jilid II Dihadang ‘PR’






Desas-desus pelantikan anggota MRP jilid di Sasana Krida, Selasa [12/4] akan didemo oleh elemen masyarakat, tidak terbukti sama sekali. Pelantikan 73 anggota MRP jilid II oleh Mendagri berjalan aman dan lancar tanpa mengalami hambatan. 73 anggota MRP Jilid II yang baru dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, terdiri dari perwakilan provinsi Papua 40 orang dan Papua Barat 33 orang. Pelantikan anggota MRP jilid II dibawah pengamanan ketat dari aparat keamanan Polda Papua.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengingatkan sebagai lembaga kultural, anggota MRP hendaknya tidak masuk dalam ranah politik praktis dan lebih fokus pada pelaksanaan kewenangan dalam rangka perlindungan hak-hak asli orang Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat, budaya, pemberdayaan perempuan, serta pemantapan kehidupan beragama.
Yang lebih penting lagi kata Mendagri, meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan gubernur dan lembaga perwakilan daerah dengan sebaik-baiknya dalam rangka mendorong penyelesaian Perdasus yang belum selesai. Ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi semua anggota MRP untuk menuntaskan Perdasus ini dengan sebaik-baiknya.
"Masih ada 11 Perdasus yang belum diselesaikan. Untuk itu, kerjasama dengan gubernur dan lembaga perwakilan daerah penting dilakukan agar semuanya dapat berjalan dengan baik," tegasnya.
Gamawan berharap, permasalahan yang terjadi dalam kepengurusan lama dapat dijadikan pelajaran, sehingga permasalahan itu tidak perlu terulang kembali.
Pelantikan dihadiri Gubernur Papua Barnabas Suebu, SH, Gubernur Papua Barat Abraham Octavianus Atururi, para pejabat dilingkungan Pemerintah Papua, Papua Barat sejumlah bupati yang ada ditanah Papua dan Muspida. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi saat melakukan pelantikan serta pengambilan sumpah anggota MRP jilid II, Selasa [12/4] kemarin di Sasana Krida mengaharapkan anggota MRP dapat memfasilitasi dan mendorong pembahasan 11 Perdasus yang belum ditetapkan.
“Kelahiran MRP merupakan implementasi kebijakan dari Otonomi khsus untuk Papua dan Papua Barat berdasarkan UU nomor 21 tahun 2011,” ujar Gamawan.
Menurut Darmawan, MRP merupakan lembaga khusus yang representasi cultural masyarakat asli Papua yang memiliki kewenangan untuk perlindungan hak asli orang Papua. Dengan berlandaskan pada adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan hidup beragama.“MRP mempunyai peran strategis dalam memperjuangkan dan perlindungan orang asli Papua, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh MRP,”ujarnya.
Kewenangan yang dimiliki oleh anggota MRP yakni memberikan kewenangan dan pertimbangan bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur Papua, member pertimbangan serta persetujuan terhadap rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama dengan gubernur Papua.
“Serta memberikan pertimbangan dan tujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak ketiga yang berlaku di tanah Papua khususnya mengenai perlindungan hak-hak hidup orang asli Papua,”jelasnya.
Disamping itu, anggota MRP yang baru perlu melakukan pendalaman dan pemahaman terhadap subtansi dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No.35 Tahun 2008.
Lebih lanjut dikatakannya, peraturan perundang-undangan dan mempunyai komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan termasuk komitmen untuk melaksanakan berbagai pernyataan sebagai suatu persyaratan menjadi anggota MRP pada saat pendaftaran sebagai amanat Pasal 4 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2004 tentang majelis Rakyat Papua.
Sebagai lembaga kultural, tegasnya, anggota MRP hendaknya tidak masuk dalam rana politik praktis dan lebih fokus pada pelaksanaan kewenangan dalam rangka perlindungan hak-hak asli orang Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat, budaya, pemberdayaan perempuan, serta pemantapan kehidupan beragama.
Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan gubernur dan lembaga perwakilan daerah dengan sebaik-baiknya dalam rangka mendorong penyelesaian Perdasus yang belum selesai.
"Masih ada 11 Perdasus yang belum diselesaikan. Untuk itu, kerjasama dengan gubernur dan lembaga perwakilan daerah penting dilakukan agar semuanya dapat berjalan dengan baik," tegasnya.
Gamawan Fauzi berharap, permasalahan yang terjadi dalam kepengurusan lama dapat dijadikan pelajaran, sehingga permasalahan itu tidak perlu terulang kembali.
Diketahui, 73 anggota Majelis Rakyat Papua periode 2011-2016 terdiri dari unsur adat sebanyak 14 orang, perempuan, 13 orang, agama, 13 orang untuk Provinsi Papua.
Sedangkan Provinsi Papua Barat terdiri dari unsur adat sebanyak 11 orang, perempuan, 11 orang, dan agama, 11 orang.
Penghinaan
Sementara itu ditempat terpisah, penanggung Jawab Selpius Bobii melalui juru bicara KRPBK, Usama Usman Yogoby mengatakan sebuah bentuk penghinaan dan pelecehan, serta pengkhianatan terhadap perjuangan masyarakat Adat Papua yang dilakukan oleh para anggota MRP jilid II yang mana menyerahkan dirinya untuk dilantik di tengah hiruk pikuknya gelombang protes dari masyarakat Adat Papua terkait OTSUS Papua yang gagal total, perekrutan dan pelantikan MRP rekayasa pemerintah Indonesia.
Lebih menyedihkan lagi bahwa para anggota MRP jilid II boneka Jakarta ini menyerahkan diri untuk dilantik oleh Negara Indonesia yang membunuh salah satu tokoh Intelektual Papua “Alm. Drs. Agus A. Alua, M.Th” yang selama ini vokal memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua. Amat sangat hina menyerahkan dirinya dilantik oleh Negara Indonesia menjadi MRP anak kandung UU OTSUS yang terbukti gagal total dan kini menjadi lambang kejahatan kemanusiaan, sangat murah dirinya menjadi budak NKRI.
Publik telah mengetahui bahwa lembaga MRP tidak memiliki gigi taring, apa pun yang dihasilkan MRP selama ini ditolak oleh Pemerintah Pusat, bahkan DPRP maupun gubernur di tanah Papua pun tidak bekerja sama. Jika demikian, apa yang hendak diperjuangkan oleh para anggota MRP jilid II boneka Jakarta yang menyerahkan dirinya dilantik pada hari ini. MRP Jilid II hendak memperjuangkan kepentingan rakyat yang mana, karena masyarakat Adat Papua telah menolak OTSUS dan MRP di tanah Papua melalui gelombang protes.
Publik mengetahui bahwa pelantikan MRP jilid II bernuansa politik sama seperti MRP jilid I. Publik juga mengetahui bahwa keberadaan MRP di Tanah Papua bukan untuk memperjuangkan kepentingan Masyarakat Adat Papua, tetapi demi mengamankan kepentingan Jakarta di Tanah Papua dan memperjuangkan hak-hak dasar ras melayu dan ras lain yang ada di Tanah Papua.
Untuk menyikapi pelantikan MRP jilid II boneka Jakarta pada hari ini, maka kami menyerukan Rakyat bangsa Papua menolak dengan tegas Paket Politik Otsus Papua-MRP jilid II dan rakyat bangsa Papua tidak akan pernah mengakui keberadaan MRP jilid II boneka Jakarta di Tanah Papua.
UU OTSUS telah gagal total, bubarkan MRP jilid II, serta cabut UU OTSUS Papua yang kini menjadi lambang kejahatan kemanusiaan, segera menjawab 11 Rekomendasi mubes MRP bersama orang asli Papua; dan menolak tegas semua paket politik, seperti UP4B yang hendak diterapkan di Tanah Papua pasca kegagalan OTSUS, serta segera menutup semua Investasi (perusahaan) ditanah Papua.
Negara Indonesia segera mempertanggung jawabkan kematian Alm. Drs. Agus. A Alua, M.Th.
Demikian juga kepada 73 anggota MRP yang sudah dilantik segera mengundurkan diri jika Anda adalah anak Adat Papua yang tahu budaya dan beragama, jika tidak mengundurkan diri, silahkan Anda menari-nari di atas darah dan air mata Masyarakat Adat Papua, namun camkanlah bahwa dengan cara demikian Anda menjadi alat kekuasaan Negara Indonesia untuk memusuhi Masyarakat Adat Papua dan memperpanjang penindasan di Tanah Papua; namun ingatlah bahwa waktu akan menjawabnya.
Tak lupa pula ia menyerukan kepada Masyarakat Adat Papua jangan pernah mengakui keberadaan mrp di tanah Papua, jangan pernah mengadu masalah ke lembaga MRP karena Masyarakat Adat Papua sebagai pemegang kedaulatan di Tanah Papua telah menolaknya melalui gelombang protes. ‘’Perjuangan kita belum berakhir, maka rakyat Bangsa Papua tetap bersatu dan bersiaplah memobilisasi umum untuk membubarkan pemerintahan OTSUS -MRP jilid II dan Golput Pilkada di Tanah Papua,’’ tegas Usman dalam siaran pers yang diterima

Senin, 11 April 2011

Di Jayawijaya Tidak Ada Lagi KAT

Di Kabupaten Jayawijaya saat ini tidak ada lagi Komunitas Adat Terpencil (KAT). Saat ini, di Kabupaten Jayawijaya yang di dalamnya ada 11 distrik, rata-rata sudah dapat dijangkau dengan cepat.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Jayawijaya, Marthen Yogobi, SH.M.Hum, ketika ditemui di ruang kerjanya, Senin kemarin mengatakan, dulu sewaktu Kabupaten Jayawijaya masih luas dan belum adanya pemekaran kabupaten, masih banyak daerah-daerah adat yang terisolir, yang jauh di pelosok-pelosok gunung dan hutan sehingga menyulitkan pihaknya untuk menjangkaunya dalam waktu yang cepat. Apalagi belum adanya sarana jalan darat, sehingga tentu saja daerah tersebut tidak pernah tersentuh pembangunan.
Namun seiring perkembangan pemekaran wilayah, Kabupaten Jayawijaya yang sekarang hanya mempunyai 11 distrik, dengan adanya struktur pemerintahannya maka tentu saja masyarakatnya tidak lagi terisolasi. Ditambah dengan adanya sarana jalan dan transportasi hingga ke pelosok-pelosok kampung untuk lebih memudahkan masyarakat bersosialisasi dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Selain itu pula pihaknya berupaya untuk selalu memonitor apabila ada kelompok masyarakat yang belum tersentuh pembangunan ataupun kesejahteraan.